Subhanallah, Meski Beda Agama, Seorang Ayah di Papua Dukung Anaknya Nyantri

Subhanallah, Meski Beda Agama, Seorang Ayah di Papua Dukung Anaknya Nyantri
Subhanallah, Meski Beda Agama, Seorang Ayah di Papua Dukung Anaknya Nyantri
Satu tungku tiga batu, sebuah kata yang sering terdengar tentang kerukunan umat beragama di Papua. Tungku adalah simbol kebersamaan hidup. Sementara tiga batu merupakan simbol dari tiga agama besar yang ada di daerah ini. Filosofi satu tungku tiga batu mewakili prinsip hidup warga setempat dalam menjaga keseimbangan dan kerukunan antarumat.
Filosofi itu salah satunya tercermin dari sebuah keluarga di Papua sebagaimana diceritakan Abdul Wahab, aktivis NU yang kini sedang menjadi pengajar agama di Bumi Cendrawasih ini. Ia mengaku menyaksikan sebuah potret keharmonisan yang luar biasa antara orangtua dan anak yang berbeda agama dan keyakinan di sana.

Tidak ada anak yang bisa memilih dari keluarga mana ia akan dilahirkan. Ada yang akhirnya lahir dari keluarga kaya, ada yang lahir dan dibesarkan dari keluarga yang miskin, ada pula yang besar di keluarga yang punya lebih dari satu agama.

Itu pun terjadi pada Rudi, seorang bocah muslim yang lahir dari ayah beragama Kristen. Meski berbeda keyakinan, kehidupan keluarga tetap berlangsung harmonis. Sang ayah bukan hanya tidak mempermasalahkan pilihan agama anaknya, tapi juga mendukung proses pendidikannya memperdalam ilmu agama Islam.

Menurut Wahab, perbedaan agama dalam satu keluarga itu tak menimbulkan masalah sama sekali dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya diperbolehkan memeluk agama yang berlainan dari ayahnya, Rudi bahkan diizinkan untuk belajar di Pondok Pesantren Al Payage yang terletak di Jalan Angkasa Pasir Dua, Kelurahan Angkasa Pura, Distrik Jayapura Utara.

Rudi lahir dan berdomisili di pedalaman Araboda, Kabupaten Jayawijaya. Berbeda dari ayahnya, ibu Rudi juga menganut agama Islam seperti dirinya. “Rudi setiap hari mengaji, mendengar petuah gurunya Saiful Islam di pondok, dan ia juga mengerti betul pentingnya akhlak terhadap orangtua meski berbeda Agama," imbuh Wahab yang menjadi salah seorang pengajar di Pondok Pesantren Al Payage tersebut.

Wahab juga mengaku sering berkunjung ke beberapa daerah dan menemukan kasus-kasus serupa. Dalam satu keluarga kerap dijumpai terdapat tiga agama, yakni Islam, Kristen dan Katolik. Kendati demikian, kemajemukan ini sama sekali tak mengoyak keutuhan keluarga tersebut.

“Walaupun mereka satu keluarga tapi beda agama, tapi sungguh tak ada konflik apa pun mengenai keyakinan yang berbeda itu," cerita Abdul Wahab melalui surat elektronik, Rabu (11/5).

Bagi Wahab, potret seperti ini jelas menohok orang-orang yang selalu menyebar fitnah dan perpecahan atas nama agama. Fakta keharmonisan dan kasih sayang keluarga di Papua tersebut dapat menjadi jawaban atas sebagian orang yang menuduh perbedaan agama sebagai biang masalah atau konflik.

“Dari kisah ini, seharusnya manusia belajar bahwa sudah sepatutnya seseorang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan persaudaraan yang lebih mendalam dan lebih mendasar dibandingkan kepentingan apapun. Sebab rasa kemanusiaan harusnya tidak dibatasi oleh baju luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya,” tuturnya. 
Advertisement