Kilas balik kejadian 20 November 1979. Sekelompok orang membawa senjata tiba-tiba mencoba menguasai Masjidil Haram.
Saat itu sedang ada puluhan ribu jemaah dari seluruh pelosok dunia berkumpul di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi.
Mereka sedang menanti shalat subuh pada 20 November 1979.
Ketika shalat selesai, sekitar 200 jemaah mengenakan jubah putih mengeluarkan senapan otomatis yang mereka selundupkan.
Sebagian jemaah bersenjata itu mengambil posisi di sekitar imam yang memimpin shalat dan mengambil alih mikrofon untuk menyampaikan pernyataan yang mengejutkan melalui pengeras suara.
"Kami menyampaikan hari ini kedatangan Mahdi, yang akan membawa keadilan dan kebenaran di bumi, yang sudah penuh dengan ketidakadilan dan penindasan," kata mereka, seperti dilansir dari BBC Indonesia.
Mahdi adalah "penebus Islam" yang akan membersihkan dunia dari kejahatan dan memerintah pada hari-hari menjelang akhir dunia.
Bagi kelompok itu, aksi mereka adalah awal dari hari kiamat.
Seorang jemaah yang juga seorang mahasiswa yang baru saja menuntaskan ibadah hajinya mengatakan, "Kami sangat kaget karena begitu shalat selesai, beberapa orang mengambil alih mikrofon dan menyampaikan pengumuman di Masjidil Haram. Mereka mengatakan bahwa Mahdi sudah datang,"
"Orang-orang bergembira karena sang penyelamat sudah datang. Orang-orang senang dan memekikkan takbir," kenangnya.
Para jemaah bersenjata itu adalah kelompok ultra-konservatif Muslim Sunni yang dipimpin oleh seorang ulama muda dari suku Arab Badui bernama Juhayman Al Otaybi.
Mereka menyatakan bahwa Imam Mahdi ada di sana, di antara mereka.
Seorang pria kemudian muncul ke depan, Mohammed Abdullah Al Qahtani, yang merupakan ipar Al Otaybi dan menyatakan dirinya sebagai Mahdi, sang penyelamat.
"Kemudian Juhayman datang dan menyatakan kesetiaan kepada Imam Mahdi. Dia meyakinkan orang-orang sehingga mereka menyatakan kesetiaan kepada Mahdi," kenang mahasiswa muda tadi.
Seorang mahasiswa lain, Abdulmanan Sultan, yang menyelinap ke dalam masjid pun memeriksa apa yang sebenarnya terjadi.
"Orang-orang sangat terkejut melihat senjata di Masjidil Haram. Ini hal yang tidak biasa bagi mereka. Tidak diragukan lagi hal itu membuat mereka takut. Sesuatu yang amat tidak patut," tutur Abdulmanan.
Juhayman Al Otaybi pun memerintahkan para pria bersenjata pengikutnya untuk menutup Masjidil Haram dan menempatkan penembak jitu di menara masjid, siap berperang melawan musuh-musuh Mahdi.
Menurut mereka, Pemerintah Arab Saudi dianggap tidak bermoral, korup, dan berorientasi pada Barat.
Ketika polisi mendekati masjid untuk mencari tahu yang terjadi di dalam, mereka melepas tembakan dan korban jiwa pun berjatuhan.
Mark Hambley, yang saat itu merupakan pejabat bidang politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Saudi, mengingat bahwa pihak berwenang Arab Saudi menerapkan kebijakan "black out" berita atau melarang berita tentang peristiwa tersebut.
Tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya yang menduduki Masjidil Haram dan apa pula alasannya.
Namun, dia bisa mendapat informasi dari seorang pilot helikopter Amerika Serikat yang terbang di atas Mekkah bersama aparat keamanan setempat.
"Yang pertama merupakan upaya yang naif tetapi berani dari sejumlah besar pasukan pengawal nasional dan polisi yang berada di sekitarnya. Dan banyak yang mati ditembak," kenang Hambley.
Pemerintah Arab Saudi mengerahkan ribuan tentara dan pasukan khusus ke Mekkah untuk mengambil alih masjid dengan membawa kendaraan lapis baja. Pesawat tempur pun juga dikerahkan.
Keluarga raja meminta persetujuan para pemuka agama untuk menggunakan kekerasan atau kekuatan bersenjata di dalam masjid.
Dalam beberapa hari mendatang pertempuran meningkat. Pasukan pemerintah melancarkan serangan demi serangan.
Alhasil, sebagian masjid rusak dan jumlah korban mencapai ratusan jiwa.
Setelah pertempuran selama beberapa hari, pasukan khusus Arab Saudi akhirnya berhasil memasuki kompleks masjid dan menguasai teras di lantai satu.
Kelompok yang dipimpin Juhayman Al Otaybi mundur ke dalam labirin koridor di dalam masjid, tetapi mereka tetap bertempur pada malam maupun siang hari.
Namun, serangan pasukan pemerintah terus ditingkatkan dan melepas tembakan membuat semua orang harus berlindung ke ruang bawah tanah masjid.
Pada saat itu pula beredar kabar bahwa Mohammed Abdullah Al Qahtani yang mengaku sebagai Mahdi menderita luka berat, yang tidak mungkin terjadi jika memang dia Mahdi yang sebenarnya.
Untuk mengakhiri pendudukan Masjidil Haram itu, aparat keamanan Arab Saudi meminta bantuan dari pasukan komando Prancis, yang dikirim ke Arab Saudi dalam misi rahasia.
Mereka tidak hanya membawa peralatan, tetapi juga memompakan gas CS ke labirin di bagian bawah tanah masjid.
Gas tersebut "menghantam" semua orang yang berada di kawasan tersebut dan banyak yang tewas walau sejumlah orang berhasil selamat.
Masjidil Haram kembali berhasil dibebaskan pada 4 Desember.
Pengikut Al Otaybi yang bisa bertahan dari serangan gas akhirnya menyerahkan diri, dua pekan setelah diduduki, dengan 63 orang dieksekusi, termasuk Juhayman Al Otaybi, sedangkan sejumlah lainnya dihukum penjara.
Insiden itu menyebabkan ratusan orang tewas, sedangkan lebih dari 1.000 orang mengalami luka-luka.
Meski sebagian besar bagian masjid rusak parah, tetapi Kabah sama sekali tak tersentuh oleh pertempuran hebat tersebut